Monday, March 22, 2010

wallpaper colour part.2

part 2






wallpaper colour bikinan sendiri ^^

iseng buat wallpaper sendiri ( menurut hemat saya, wallpaper buat desktop tu mencerminkan kepribadian si pemilik, kalau buat saya sendiri, wallpaper yang bersih tanpa ada banyak icon2 dan shortcut2 itu yang paling oke, menurut saya lho).






tentang warna dan teksnya, di anime sering dipake yang model begini, cuma saya bikin versi saya sendiri, teksnya adalah nama warna dan apa yang saya pikirkan spontan saat melihat warna tsb.

Sunday, March 21, 2010

cerpen - orang terbang

“Pak! Apelnya sekeranjang!” si Kumis itu mengulangi. Sementara pak Haidi tetap menengadah menatap langit. Apel jualan yang tengah dimakannya terjatuh menggelinding masuk ke dalam kolong meja apelnya.

“PAK! SAYA BELI APEL!!” Pak Haidi tersadar, “oh, iya pak, maaf. Tadi saya pikir saya liat ada orang terbang.” Pak Kumis yang tidak sedang mengunyah obat itu kini berwajah masam, dia mendongak ke atas juga, menengok-nengok mencoba menemukan hal mustahil yang diceritakan oleh pak penjual apel ini. Pak Hadi pun ikut-ikutan.

“Jangan ngawur pak! Saya buru-buru. Apelnya sekeranjang!”

“Oh, iya pak, di sini atau dibungkus?” tanya pak Haidi. “Emang saya mau beli bakmi!” hardik pak Kumis itu kesal. “Bungkus disini! Cepetan!”

Tiba-tiba pak Ilam yang kiosnya di sebelah pak Haidi berteriak pada istrinya, “Sumpah bu! Tadi ada orang terbang! Bajunya hitam rambutnya panjang! Terbang kesana!” Sontak pak Haidi dan semua orang di pasar itu bergumam-gumam sambil mendongak. “Masa’ sih pak! Bapak ngimpi paling!” sang istri menimpali, sementara orang-orang mulai berkerumun di depan kios pak Ilam. “Ngimpi gimana! Orang aku jelas-jelas liat!”

“Saya juga liat, pak Ilam!” pak Haidi nimbrung. Kerumunan itu sekarang terpecah menjadi dua. Satu ke kios pak Ilam, dan satu ke kios apel pak Haidi.

“Saya lagi makan apel dan tiba-tiba ada bayangan sekelebat di langit! Itu orang!”

“Wah, kalau saya tadi waktu makan jeruk saya pak!” sahut pak Ilam. Kerumunan itu terus geger. Si Bapak Kumis akhirnya menyerah dan meninggalkan ajang kehebohan di kios apel itu.

Tiba-tiba perhatian kerumunan itu teralihkan oleh seruan seorang pemuda setengah baya yang baru datang bergabung. “Pak! Saya juga lihat! Orangnya rambut merah ‘kan!” seruan si pemuda itu dijawab pak Ilam. “Oh iya dek, rambutnya merah panjang!”

Geger.

“Lho, masnya yang tadi barusan beli apel di saya ‘kan? Yang mau mbesuk temen di RS?” kata pak Haidi. “Iya pak, waktu makan satu apel di jalan saya liat bayangan di tanah, taunya ada orang terbang!”

Kerumunan itu kembali saling bergumam, berpikir. Kedatangan seorang ibu-ibu gemuk yang mengaku mengalami kejadian yang sama dengan si pemuda semakin membawa sang kerumunan menuju sebuah kesimpulan.

Satu per satu dari mereka membeli apel dari kios pak Haidi, juga jeruk dari pak Ilam. Satu orang satu apel, dan langsung mendongak sembari mengunyah.

Sore pun tiba, matahari terbenam dan langit meredup. Apapun yang dilihat oleh para saksi mata itu tadi kini tidak bisa lagi dipastikan. Pak Haidi menarik pintu gerainya ke bawah. Kiosnya dan kios pak Ilam menjadi yang terakhir tutup sore itu.

Malamnya, kedua pemilik kios itu bertemu di rumah sang pemilik kios apel. Istri pak Haidi yang gemuk menyuguhkan teh untuk kedua bapak tersebut. Sementara si pemuda setengah baya sedang menikmati acara musik di TV favoritnya, menunda PR yang harus dikumpulkannya esok hari. Sementara acara perbincangan dan penghitungan hasil jualan kedua penjual itu semakin panas. Tawa menggelegar di ruang tamu itu.